Visi, Misi, Motto dan Mars Asisi
MARS ASISI
C = Do, 4/4
Ciptaan: Paskalis, S. Sn.
Marilah berjuang tanpa lelah
hadapi segala masalah
ingatlah akan kewajibanmu
teruslah maju dan pantang menyerah
Mari kita melangkah bersama
hadapi segala rintangan
teguhkan tekad karakter bangsa
ingatlah slalu akan kewajibanmu
reff ….
Belajar dari kekurangan
meraih kebesaran
semangatMu Santo Fransiskus Asisi
selalu ada di hati (2x)
Asisi majulah
Asisi jayalah
Dipangkuan Ibu Pertiwi (2x)
Persekolahan Santo Fransiskus Asisi, selanjutnya disingkat PSFA. PSFA memperlakukan anak didik atau peserta didik sebagai manusia yang utuh. Anak didik adalah subjek yang bisa menentukan nasibnya sendiri. Membebaskan menurut PSFA tidak sekadar mengajarkan ilmu dan memberikan aneka informasi, tetapi juga bagaimana mengajak anak didik menemukan dirinya. Visi sekolah ini tercermin dalam praktik pembelajaran berupa penanaman sikap hidup, pandangan hidup, nilai-nilai tentang kehidupan, dan keterampilan hidup.
PSFA berani bertransformasi hingga tidak sekadar ajang pengajaran, lebih dari itu harus menjadi pusat pendidikan. Sekolah harus menjadi pusat pendidikan. PSFA harus mengembangkan pribadi-pribadi yang mandiri, bertanggung jawab, dapat mengatur diri, dapat memilih sesuai dengan kata hatinya. Meminjam kata-kata Romo Driyarkara, pendidikan sekolah harus menjadi pusat memanusiakan manusia yaitu suatu pengangkatan manusia ke taraf insani sehingga ia dapat menjalankan hidupnya sebagaimana manusia utuh dan membudayakan diri.
Lewat visi yang tujuannya nun jauh ke depan, berjuang menampilkan sekolah alternatif yang membebaskan manusia dari penindasan, pemiskinan, dan pembodohan menuju manusia mandiri dan bertanggung jawab. Ini merupakan tekad yang dicanangkan PSFA yang ingin mengoreksi sistem pembelajaran terutama di tingkat dasar dan menengah yang cenderung satu arah.
Setiap pribadi insani berhak untuk memeroleh akses pendidikan yang membebaskan, lalu mengekspresikan apa yang didapatkannya dari pendidikan tersebut. PSFA bekerja sama dengan semua pihak yang memiliki cita-cita yang sama. Sebagai perwujudan visi ini, PSFA berupaya untuk memfasilitasi peserta belajarnya mengembangkan dirinya menjadi pribadi-pribadi yang “bebas”, mandiri, bertanggung jawab, dapat mengatur diri, dapat memilih dengan bebas sesuai dengan kata hatinya.
Konsep pendidikan dan pembebasan yang dikembangkan PSFA bukan sama sekali tanpa aturan. PSFA sama sekali tidak mentolerir perlaku bebas, egois, hedonistik, materialistik, apalagi culas, dan anarkis. Sekolah yang membebaskan lebih dimaksudkan agar bagaimana guru dan peserta belajar bersama-sama membuat kesepakatan terkait aktivitas pembelajaran, pengembangan, pembiasaan, dan pembudayaan diri yang berbasis cura personalis yaitu karunia manusia yang paling asasi dan luhur, mengikuti Pastor J. Oei Tik Djoen, S.J yang mengatakan bahwa kebebasannya yang harus diprioritaskan dalam proses pembentukan kepribadian.
PSFA, persoalannya yang paling penting, bukanlah bagaimana menghapuskan realitas sosial yang beragam itu melalui penyeragaman karena itu tidak mungkin. Tetapi, bagaimana menanamkan nilai-nilai kepada anak agar mereka saling menghormati, menghargai, dan mempunyai toleransi yang tinggi sehingga yang kaya tidak sombong dengan kekayaannya, anaknya pejabat tidak angkuh dengan kekuasaannya, sedangkan anak miskin, buruh, asongan tidak minder dengan kemiskinannya.
Mengatasi kemiskinan dan segala perbedaan yang dimiliki peserta belajar dengan hanya menekankan pada pakaian seragam, akan mengingkari realitas kemajemukan. Hal mendasar yang mesti dilakukan adalah membangun dan menguatkan citra diri positif itu adalah melalui program Pembinaan Mental dan Spiritual.
Diperbolehkannya peserta belajar untuk bebas berpakaian bukanlah ciri khas sekolah apalagi menjadi hal yang sangat substansial. Bebas berpakaian hanyalah salah satu ekspresi komunitasnya berkaitan dengan pembebasan yang diterapkan dengan memerhatikan norma-norma kesantunan serta tata tertib sekolah.
Substansi dari sekolah pembebasan yang hakiki adalah penghargaan pada jiwa-jiwa muda yang yang penuh dengan kreativitas, dinamika, dan semangat kebebasan. Kemajemukan bangsa yang kita miliki mesti dihadirkan dan dipahami oleh peserta belajar sejak dini melalui masyarakat mini yang ada di sekolah. Jadi, perbedaan perbedaan yang selama ini dijadikan batu sandungan untuk hidup bersama yang damai dan rukun secara bertahap dapat dieliminasi.
Dimensi intelektualitas dalam PSFA meskipun penting, bukanlah satu-satunya yang menjadi perhatian dan prioritas utama, tapi juga penguatan nilai-nilai kepribadian atau penguatan karakter peserta didik. Aspek lain yang mendapat perhatian yang tak kalah serius adalah aspek emosionalitas, sosialitas, religiositas, spiritualitas, adversitas, dan nilai-nilai yang menjadi panduan moral dan dasar berperilaku yakni pola pikir, disiplin, tanggung jawab, kasih sayang, keadilan, kesederhanaan, aturan, kemandirian, kebersamaan, keberpihakan pada yang lemah dan ungkapan syukur.
Pendidikan yang ada di PSFA sungguh dijadikan cara untuk mencairkan kebekuan hubungan guru-siswa. Kebudayaan ‘bisu’ secara bertahap dihapuskan. Kreativitas dikembangkan. Pendidikan sungguh menjadi alat pembebasan, media pencerahan, dan pemberdayaan diri. Pendidikan dimaknai sebagai upaya untuk membantu manusia menemukan hakikat kemanusiaannya yang merdeka, bebas berkreativitas, dan berinovasi demi tujuan perubahan yang lebih baik. Di sinilah motto PSFA “Asisi Ajang Kreasi dan Solusi” bukan sekadar nama atau sebutan, tapi benar nyata dipraktikan.