Sejarah Persekolahan Santo Fransiskus Asisi
PENGALAMAN pahit yang menyakitkan, dicap: jelek, bodoh, kolot, terbelakang, miskin, minder, (maaf) “macam Dayak”, dan berbagai stereotif negatif lainnya, memaksa masyarakat Dayak (dalam perkembangannya, istilah Dayak tidak lagi menyangkut etnis tertentu tetapi mewakili kelompok/golongan minoritas yang tertindas, terpinggirkan, dan mengalami marginalisasi akut) harus mencari dan menemukan cara untuk membebaskan dan memberdayakan diri. Cara baru yang inovatif-konstruktif-partisipatif untuk merebut kembali harkat, martabat, dan kedaulatan masyarakat Dayak mutlak diperlukan.
Menjadi kelompok masyarakat yang tertindas, terpinggirkan, dibodohi, dimiskinkan, dan dialienasikan merupakan pengalaman pahit yang sangat menyakitkan. Para penindas, selain menindas, juga membodohi, memiskinkan, meminggirkan, dan mengalienasikan, baik secara fisik maupun psikologis. Dalam konteks masyarakat Dayak, akibatnya seluruh tatanan kehidupan masyarakat Dayak menjadi lemah. Rantai panjang penindasan yang dialami masyarakat Dayak tersebut membuat anggota masyarakatnya tercerai-berai tak berdaya.
Pengalaman pahit hidup di tengah suasana penindasan yang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan manusia masyarakat Dayak tersebut, mendorong sejumlah “pembaharu” Dayak ketika itu untuk bangkit berjuang melawan para penindas secara konsisten, berapapun harga yang mesti dibayar. Prinsipnya, membebaskan diri dan sesama dari segala bentuk penindasan adalah tugas mulia yang mesti dilakukan.
Berbekal tekad yang demikian, dipelopori pembaharu Dayak yang tinggal di Pontianak , antara lain: A.R. Mecer, Maran Marcelinus Aseng, Firmus Kaderi (alm.), Syaikun Riyadi (alm.), Yoseph Thomas, A. Milon Somak (alm.), P. Heliodorus, OFM Cap, Markus Alin (alm.), didirikanlah Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih (YKSPK).
YKSPK merupakan respon positif-progresif atas penindasan yang hebat yang dialami masyarakat Dayak. YKSPK merupakan salah satu upaya strategis yang sangat penting keberadaannya dalam rangka memperjuangkan dan memberdayakan hak-hak masyarakat Dayak (Adat).
YKSPK adalah salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang memfokuskan perhatiannya pada upaya fasilitasi dan pemberdayaan masyarakat adat dalam berbagai aspek kehidupan agar mereka terbebas dari belenggu penindasan yang menyengsarakan.
YKSPK MENDIRIKAN SEKOLAH
Nama PANCUR KASIH terinspirasi oleh pengalaman petani yang berladang di hutan perbukitan Kalimantan. Di celah-celah bebatuan di lereng bukit, tanah tampak basah karena ada rembesan air. Karena hanya berupa rembesan air, tentu rembesan air itu belum dapat dimanfaatkan untuk keperluan mandi, minum, mencuci, dan keperluan lainnya. Lalu petani membuat alur air menggunakan pancuran bambu kecil untuk mengalirkan air itu. Air kemudian terkumpul dan mengalir mengikuti pancuran sehingga dapat dimanfaatkan banyak orang untuk minum, mencuci, mandi, dan keperluan hidup lainnya. Ternyata, aliran air yang kecil tersebut tidak kunjung habis meskipun dimanfaatkan oleh banyak orang.
Pengalaman di atas memberikan makna bahwa meskipun kemampuan (talenta) yang dimiliki kecil, lemah, dan terpisah-pisah, jika diorganisir dan disatukan akan menjadi kekuatan yang maha dahsyat dan berguna bagi banyak orang.. “Pancuran” yang terbuat dari bambu melambangkan wadah, lembaga pengorganisir, dan pemersatu. Sedangkan “Kasih” melambangkan “ROH/JIWA” yang mendasari setiap perbuatan atau tindakan. Jadi PANCUR KASIH merupakan sebuah lembaga yang dijadikan sarana untuk mengalirkan kasih kepada sesama.
Pada awal kiprahnya, YKSPK memulai karyanya di dunia pendidikan yaitu pada tahun 1981 mendirikan SMP Santo Fransiskus Asisi Pontianak dan 3 tahun kemudian, tepatnya tahun 1984 mendirikan SMA Santo Fransiskus Asisi Pontianak). Dalam perkembangannya, kini ada banyak lembaga dan unit yang telah berdiri dengan fokusnya sendiri-sendiri tetapi tetap terintegrasi secara sinergis satu sama lain untuk saling melengkapi dan menguatkan.